EXPLORE YOUR INTERESTS

Selasa, 27 Agustus 2013

Cerpenku : Kisah jaman dahoeloe dengan sedikit perubahan


Cloud Callout: Cerpen18.jpgKeping-keping Nostalgia


R
Embulan tampak anggun dengan separuh wajahnya. Ia berjalan malu-malu di antara sepasang awan. Remang-remang indah malam itu seolah menghilangkan ketakutan tiga bocah alit yang saling berkejaran di halaman yang tak luas itu. Mereka begitu bahagia.
          Tak seperti Darsih. Di balik keindahan itu ia merasakan sesuatu yang mencekam batinnya. Sesuatu yang selalu ia rasakan sepanjang siang dan malam.
          “Asih…Alif…Minah…” Perempuan paruh baya itu melambaikan tangannya kea rah bocah-bocah itu.
          Ketiga anak itu tak mengindahkannya atau barangkali tak mendengar panggilannya. Dipanggil lagi anak-anaknya itu dengan hati geram.
Cepet mlebu! Kae pengacone teka. Diculik mengko!” Matanya melotot. Kali ini ketiga anaknya tak berani membantah lagi. Dibimbingnya anak-anak tercintanya masuk ke gubuk mereka.
***
          Ketiga buah hatinya telah terlelap. Ia berbisik kepada suaminya.
          Dewek ora ndue apa-apa maning. Cuma dua tiga ikat padi dan beberapa genggam beras neng kendi. Nek pengaco kae teka dewek ora teyeng mangan ngesuk…”
          Harjo segera beranjak dari peristirahatannya. Lekas-lekas menyimpan apa yang mereka punya ke dalam satu karung. Dikemasnya dengan rapi lalu ditaruh di kolong tempat tidur mereka. Kemudian ditutupi karung-karung lagi.
mjngf.jpeg          Sementara istrinya mengawasi anak-anak mereka di balik kelambu. Ditepuknya satu nyamuk di jidat si sulung. Ada lagi di lengan anak lelakinya. Lagi, dan semakin banyak saja. Ia mengambil teplok kecil yang melekat di dinding gedek bambu di kamar itu. Dan mulai mengintai batang hidung nyamuk-nyamuk yang berngiang-ngiang di telinga layaknya seorang tentara yang mengintai musuhnya. Tap! Dapat satu, dua, tiga dan banyak yang mati dibakarnya. Ia mendapati bagian kelambu yang terbuka. Oh, pantas saja makhluk-makhluk kecil penghisap darah itu berhasil menyusup. Lha wong sobek…. Pikirnya. Dirapatkannya bagian yang sobek itu. Setelah merasa aman ia pun beranjak menemani anak-anaknya tidur. Ia pandangi tubuh-tubuh dekil nan kurus milik merpati kecilnya itu. Bibirnya mengembang membayangkan  wajah-wajah mungil itu ketika besar nanti. Beterbangan pula di benaknya semua asa yang senantiasa didambakannya. Bahwa tak ada lagi penindasan. Tak ada lagi ketakutan dan tak ada lagi kepahitan yang dirasakan oleh anak-anaknya kelak.
Darsih menutup matanya dengan hati resah. Bukan saja khawatir malam ini pemberontak-pemberontak itu datang. Tapi ada ketakutan yang berbeda yang ia rasakan. Tak tahu entah apa. Dipeluknya erat-erat si bungsu yang berada di sampingnya.
***
          “Der…der…der…!! Der…der…derr…!!”
          Sayup-sayu terdengar ada yang menggedor-gedor pintu. Sang ibu terjaga. Jantungnya berdebar kencang. Ia yakin itu pasti para tentara DI yang datang.  Ia membangunkan suaminy yang sedang pulas. Mungkin juga sedang bermimpi. Mereka berdua membukakan pintu.
          Onten nopo to, Mas?”Tanya Harjo.
          Biasa, Pak. Njaluk bantuan sembakone,” jawab salah seorang dari mereka.
          “Tapi kami agi ora ndue apa-apa. Warung kami mbeke dibakar wingi.” Jawab Harjo lagi. Suaranya gemetar oleh sambutan mata-mata mereka yang melotot. Nyaris keluar. Darsih mendekap lengan suaminya.
          Salahe sapa kalian minggat. Dimintai bantuan kok malah ngungsi. Ya lebih baik dibakar saja. Hahahaha….” Kata orang yang berbadan gemuk. Yang lain ikut tertawa.
          Mata mereka jelalatan mengawasi setiap sudut ruangan. Ruang tamu, dapur, belakang rumah. Semuanya diperiksa. Terakhir di kamar.
          “Mas, neng kono ora ana apa-apa. Cuma anak-anak kami yang lagi tidur.” Ahmad berusaha mencegah mereka. Mereka tak menggubrisnya.
          Dilihatnya kamar itu. Memang tak ada barang berharga yang bias dibawa. Hanya beberapa helai pakaian yang tak menarik, kelambu yang banyak tempelan dengan bocah-bocah kecil ingusan meringkuk di dalamnya. Diarahkan matanya ke celah di bawah amben reot itu. Banyak karung di sana. Diperiksanya satu persatu. Tak ada apa-apa. Diperiksa lagi. Ia menemukan karung berisi beberapa ikat padi,beras dan satu tandan kecil pisang raja.
          “ Kalian uwis ngapusi ya. Apa gelem aku bakar sekalian umahmu gie, hah!” Hardiknya.
          “Jangan dibawa, Mas…jangan dibawa. Cuma itu yang kami punya. Mengko anak kami mangan apa?” Harjo memohon kepada tentara itu. Istrinya hanya menangis dan mencegah agar suaminya tidak melawan.
          “Suket akeh, batu melimpah. Hahahaha…” Jawab mereka seenaknya.
          Laki-laki itu tampaknya sudah mulai naik darah.ia menarik karung itu dari tangan si pemberontak.
          Tentara DI itupun sudah tak sabar lagi. Diacungkannya senapan panjangnya kea rah laki-laki itu.
          Duarrrr! Seketika muncrat darah segar dari dada ayah malang itu. Ia lunglai dan ambruk ke tanah.
          Mereka melemparkan seikat padi kea rah jasad yang terkapar itu. Mereka meninggalkan perempuan yang meraung-raung di sisi suaminya yang tak bernyawa lagi. Mereka pergi dengan wajah-wajah tak berdosa.
itk.jpeg***
          “Memangnya orang-orang jahat itu siapa sih, Mbah?” Tanya gadis kecil yang sedari tadi menyimak dengan saksama dongengan neneknya.
          “Iya Mbah, meleka kok jahat banget sih?” Si kecil ikut nimbrung. Muulutnya penuh dengan mendoan hangat kesukaannya.
          Dengan sabar perempuan tua itu menjawab satu persatupertanyaan dari cucu-cucunya.
          “Mereka itu tentara DI atau Darul Islam. Mereka ingin menjadikan Negara kita menjadi Negara Islam. Dulu sekitar tahun 59 sampai 60-an partai mereka kalah. Akhirnya mereka jadi pemberontak. Tempat mereka itu jauuuuhhh…di bukit-bukit. Nah kalau malam mereka turun ke kampung. Minta bantuan makanan. Tapi mereka maksa. Kalau ndak dikasih, orangnya dibunuh…” Jelasnya.
          Kedua cucunya manggut-manggut.
          “ Mbah, Mbah, telus sekalang meleka di mana? Kalo Hanif ketemu meleka bakalan Hanif pukul pake kayu! Wuzzz…wuzzz…” Celetuk cucu laki-lakinya yang masih cadel itu sambil memperagakan jurus ala Power Rangers.
          Darsih hanya tersenyum. Pandangannya menerawang jauh ke ujung pagar-pagar bambu runcing yang tinggi dalam memorinya. Ia mencoba menepis serpihan-serpihan masa lalunya dari benaknya. Matanya pun berkaca-kaca.***




Agi                          : sedang
Alit                         : kecil
Amben                 : tempat tidur
Dewek                  : kita
Gelem                  : mau
Gie                         : ini
Kae                        : itu
Kendi                    :wadah yang terbuat dari tanah
Kono/kana          : situ/sana
Mangan               : makan
Maning                 : lagi
Mbeke                 : barusan
Mendoan              :makanan yang terbuat dari tempe yang digoreng dengan tepung tapi tidak dikeringkan.
Mengko               : nanti
Minggat               : kabur
Mlebu                   : masuk
Ndue                     : punya
Nek                        : kalau
Neng                     : di
Ngapusi                                : berbohong
Ngesuk                 : besok
Njaluk                   : minta

Nopo                     : apa
Onten                   : ada
Ora                         : tidak
Pengaco               : pengacau/pemberontak
Suket                    : rumput
Teka                      : dating
Teplok                  : lampu minyak
Teyeng                 : bias
Umah                    : rumah
Uwis                      : sudah
Wingi                     : kemaren









2 komentar:

  1. bahasa apa tu fat ...
    ada yang agak kurang paham ??
    lumayan lah isinya

    BalasHapus
  2. bahasa jawa tengah, ngapak. hehe..tu bahasa kampoeng saya bg..

    BalasHapus