Keping-keping Nostalgia
R
|
Embulan tampak anggun dengan
separuh wajahnya. Ia berjalan malu-malu di antara sepasang awan. Remang-remang
indah malam itu seolah menghilangkan ketakutan tiga bocah alit yang saling
berkejaran di halaman yang tak luas itu. Mereka begitu bahagia.
Tak
seperti Darsih. Di balik keindahan itu ia merasakan sesuatu yang mencekam
batinnya. Sesuatu yang selalu ia rasakan sepanjang siang dan malam.
“Asih…Alif…Minah…”
Perempuan paruh baya itu melambaikan tangannya kea rah bocah-bocah itu.
Ketiga
anak itu tak mengindahkannya atau barangkali tak mendengar panggilannya.
Dipanggil lagi anak-anaknya itu dengan hati geram.
“Cepet mlebu! Kae pengacone teka. Diculik
mengko!” Matanya melotot. Kali ini ketiga anaknya tak berani membantah
lagi. Dibimbingnya anak-anak tercintanya masuk ke gubuk mereka.
***
Ketiga buah
hatinya telah terlelap. Ia berbisik kepada suaminya.
“Dewek ora ndue apa-apa maning. Cuma dua tiga ikat padi dan beberapa
genggam beras neng kendi. Nek pengaco kae teka dewek ora teyeng mangan
ngesuk…”
Harjo segera beranjak dari
peristirahatannya. Lekas-lekas menyimpan apa yang mereka punya ke dalam satu
karung. Dikemasnya dengan rapi lalu ditaruh di kolong tempat tidur mereka.
Kemudian ditutupi karung-karung lagi.
Sementara istrinya mengawasi anak-anak
mereka di balik kelambu. Ditepuknya satu nyamuk di jidat si sulung. Ada lagi di
lengan anak lelakinya. Lagi, dan semakin banyak saja. Ia mengambil teplok kecil yang melekat di dinding
gedek bambu di kamar itu. Dan mulai mengintai batang hidung nyamuk-nyamuk yang
berngiang-ngiang di telinga layaknya seorang tentara yang mengintai musuhnya.
Tap! Dapat satu, dua, tiga dan banyak yang mati dibakarnya. Ia mendapati bagian
kelambu yang terbuka. Oh, pantas saja makhluk-makhluk kecil penghisap darah itu
berhasil menyusup. Lha wong sobek…. Pikirnya.
Dirapatkannya bagian yang sobek itu. Setelah merasa aman ia pun beranjak
menemani anak-anaknya tidur. Ia pandangi tubuh-tubuh dekil nan kurus milik
merpati kecilnya itu. Bibirnya mengembang membayangkan wajah-wajah mungil itu ketika besar nanti.
Beterbangan pula di benaknya semua asa yang senantiasa didambakannya. Bahwa tak
ada lagi penindasan. Tak ada lagi ketakutan dan tak ada lagi kepahitan yang
dirasakan oleh anak-anaknya kelak.
Darsih
menutup matanya dengan hati resah. Bukan saja khawatir malam ini
pemberontak-pemberontak itu datang. Tapi ada ketakutan yang berbeda yang ia
rasakan. Tak tahu entah apa. Dipeluknya erat-erat si bungsu yang berada di
sampingnya.
***
“Der…der…der…!!
Der…der…derr…!!”
Sayup-sayu
terdengar ada yang menggedor-gedor pintu. Sang ibu terjaga. Jantungnya berdebar
kencang. Ia yakin itu pasti para tentara DI yang datang. Ia membangunkan suaminy yang sedang pulas.
Mungkin juga sedang bermimpi. Mereka berdua membukakan pintu.
“Onten nopo to, Mas?”Tanya Harjo.
“Biasa, Pak. Njaluk bantuan sembakone,”
jawab salah seorang dari mereka.
“Tapi kami
agi ora ndue apa-apa. Warung kami mbeke
dibakar wingi.” Jawab Harjo lagi. Suaranya gemetar oleh sambutan mata-mata
mereka yang melotot. Nyaris keluar. Darsih mendekap lengan suaminya.
“Salahe sapa kalian minggat. Dimintai bantuan kok
malah ngungsi. Ya lebih baik dibakar saja. Hahahaha….” Kata orang yang berbadan
gemuk. Yang lain ikut tertawa.
Mata
mereka jelalatan mengawasi setiap sudut ruangan. Ruang tamu, dapur, belakang
rumah. Semuanya diperiksa. Terakhir di kamar.
“Mas, neng kono ora ana apa-apa. Cuma anak-anak kami yang lagi tidur.”
Ahmad berusaha mencegah mereka. Mereka tak menggubrisnya.
Dilihatnya
kamar itu. Memang tak ada barang berharga yang bias dibawa. Hanya beberapa
helai pakaian yang tak menarik, kelambu yang banyak tempelan dengan bocah-bocah
kecil ingusan meringkuk di dalamnya. Diarahkan matanya ke celah di bawah amben reot itu. Banyak karung di sana.
Diperiksanya satu persatu. Tak ada apa-apa. Diperiksa lagi. Ia menemukan karung
berisi beberapa ikat padi,beras dan satu tandan kecil pisang raja.
“
Kalian uwis ngapusi ya. Apa gelem aku
bakar sekalian umahmu gie, hah!” Hardiknya.
“Jangan
dibawa, Mas…jangan dibawa. Cuma itu yang kami punya. Mengko anak kami mangan
apa?” Harjo memohon kepada tentara itu. Istrinya hanya menangis dan mencegah
agar suaminya tidak melawan.
“Suket
akeh, batu melimpah. Hahahaha…” Jawab mereka seenaknya.
Laki-laki
itu tampaknya sudah mulai naik darah.ia menarik karung itu dari tangan si
pemberontak.
Tentara
DI itupun sudah tak sabar lagi. Diacungkannya senapan panjangnya kea rah
laki-laki itu.
Duarrrr!
Seketika muncrat darah segar dari dada ayah malang itu. Ia lunglai dan ambruk
ke tanah.
Mereka
melemparkan seikat padi kea rah jasad yang terkapar itu. Mereka meninggalkan
perempuan yang meraung-raung di sisi suaminya yang tak bernyawa lagi. Mereka
pergi dengan wajah-wajah tak berdosa.
“Memangnya
orang-orang jahat itu siapa sih, Mbah?” Tanya gadis kecil yang sedari tadi
menyimak dengan saksama dongengan neneknya.
“Iya
Mbah, meleka kok jahat banget sih?”
Si kecil ikut nimbrung. Muulutnya
penuh dengan mendoan hangat kesukaannya.
Dengan
sabar perempuan tua itu menjawab satu persatupertanyaan dari cucu-cucunya.
“Mereka itu tentara DI atau Darul
Islam. Mereka ingin menjadikan Negara kita menjadi Negara Islam. Dulu sekitar
tahun 59 sampai 60-an partai mereka kalah. Akhirnya mereka jadi pemberontak.
Tempat mereka itu jauuuuhhh…di bukit-bukit. Nah kalau malam mereka turun ke
kampung. Minta bantuan makanan. Tapi mereka maksa. Kalau ndak dikasih, orangnya
dibunuh…” Jelasnya.
Kedua
cucunya manggut-manggut.
“
Mbah, Mbah, telus sekalang meleka di mana? Kalo Hanif ketemu meleka bakalan
Hanif pukul pake kayu! Wuzzz…wuzzz…” Celetuk cucu laki-lakinya yang masih cadel
itu sambil memperagakan jurus ala Power Rangers.
Darsih
hanya tersenyum. Pandangannya menerawang jauh ke ujung pagar-pagar bambu
runcing yang tinggi dalam memorinya. Ia mencoba menepis serpihan-serpihan masa
lalunya dari benaknya. Matanya pun berkaca-kaca.***
Agi :
sedang
Alit :
kecil
Amben :
tempat tidur
Dewek :
kita
Gelem :
mau
Gie :
ini
Kae :
itu
Kendi :wadah yang terbuat dari tanah
Kono/kana :
situ/sana
Mangan :
makan
Maning :
lagi
Mbeke :
barusan
Mendoan :makanan yang terbuat dari tempe
yang digoreng dengan tepung tapi tidak dikeringkan.
Mengko :
nanti
Minggat :
kabur
Mlebu :
masuk
Ndue :
punya
Nek :
kalau
Neng :
di
Ngapusi :
berbohong
Ngesuk :
besok
Njaluk :
minta
Nopo :
apa
Onten :
ada
Ora :
tidak
Pengaco :
pengacau/pemberontak
Suket :
rumput
Teka :
dating
Teplok :
lampu minyak
Teyeng :
bias
Umah :
rumah
Uwis :
sudah
Wingi :
kemaren
bahasa apa tu fat ...
BalasHapusada yang agak kurang paham ??
lumayan lah isinya
bahasa jawa tengah, ngapak. hehe..tu bahasa kampoeng saya bg..
BalasHapus